Random Posts

Mahasiswa Indonesia Era Reformasi: Buta, Bisu dan Tuli

Oleh : Iqbal Hanafi
Kader HMI Komisariat STIE SAK-STIA NUSA 
Mahasiswa STIA-NUSA 

KERINCINEWS.COM, KERINCI -
Mahasiswa STIA-NUSA
Mahasiswa Indonesia sudah kehilangan corak dan kredibilitasnya sebagai penyandang status Agent of change (agen perubahan) dan social control (pengontrol sosial) di zaman yang serba modern ini. Mereka seolah-olah kehilangan pedoman dalam menggapai semua perjuangan dan pemikirannya. Tidak ada lagi kesadaran dalam diri mereka dalam menganalisa suatu hal yang bersifat fundamental, tergesa-gesa dalam menyikapi dan memutuskan pilihan yang terbaik. Padahal, ketiga kemampuan tersebut sangatlah dibutuhkan oleh mereka selepas menempuh jenjang perkuliahan dalam rangka mewujudkan Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian.

Dalam bidang pendidikan dan penelitian, kemampuan analisis yang tinggi haruslah menjadi kewajiban bagi mereka sebagai pribadi-pribadi pemberi tauladan dan pencipta, agar tidak terjadi ambiguitas perilaku dan kebingungan tentang pengetahuan di dalam masyarakat. Juga, sebagai bagian masyarakat intelektual yang mengabdi dalam lingkungan masyarakat umum, mereka diharapkan mampu bertindak sebagai seorang pemimpin, pencetus, serta sebagai pemecah masalah yang terdapat dalam lingkungan.

Namun, kenyataan yang saat ini terjadi justru kebalikan dari kewajaran yang seharusnya ada pada masing-masing individu mahasiswa Indonesia. Layaknya sang “pembawa perubahan”, mereka malah ikut terbawa arus yang lalu mengubah diri mereka sesuai dengan kehendak zaman. Mereka sudah tidak dapat melihat antara apa yang berubah dan siapa yang berubah. Mereka sibuk dengan kegiatan hedonis mereka masing-masing tanpa memperhatikan lingkungan sekitar yang semakin lama menjadi bom waktu kehancuran bagi Negara tercinta ini.

Layaknya sang “pengontrol sosial”, pemikiran mereka malah dikontrol oleh antek-antek kemunafikan manusia sehingga yang ada pada setiap diri mereka adalah kepentingan masing-masing, tanpa mereka sadari bahwa kepentingan umum jauh lebih menguntungkan daripada kepentingan pribadi. Jika kepentingan umum terjamin, maka terjaminlah kemaslahatan bangsa.

Menyuarakan aspirasi tanpa referensi, berbicara dan menuduh semau mereka tanpa melihat kenyataan yang ada, mereka hanya mengandalkan logika yang menurut mereka benar. Mahasiswa Indonesia, seolah buta dalam kemampuan mengamati berbagai perubahan sosial yang terjadi, buta dalam memahami segala arti penting bagi kemaslahatan bangsa, buta dalam melihat kesungguhan sang “pengumbar janji kesejahteraan.”

Walaupun membaca buku sebanyak mungkin, namun tak pernah suara mereka keluar selantang isi buku. Benar sekali apa yang dikatakan oleh wiji tukul “buat apa baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.” Mereka mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, namun mereka tak pernah menyuarakan apa yang seharusnya baik dan apa yang seharusnya buruk. Semua itu adalah mata rantai kepentingan yang tak pernah putus dari awal orde baru hingga era reformasi ini. Entah itu karena mereka takut masa depan mereka terancam ataupun karena pemikiran feodal mereka yang lebih memilih sebagai pengikut agar mereka dapat dipermudah dalam segala urusan. Berbicara tentang kebenaran pada setiap forum yang menguntungkan bagi mereka, namun tak pernah mereka lestarikan pada setiap perjuangan dan pengabdian mereka. Mengatasnamakan masyarakat pada setiap pertemuan dengan pemerintah padahal hanya mencari keuntungan dibalik itu semua.

Mencari perhatian pemerintah sebagai jalan pintas kesuksesan yang mereka anggap benar. Berbicara tentang keadilan, namun memilih diam ketika dihadapkan pada setiap audiensi yang dilakukan, diam ketika ditekan, takut ketika diancam dan hanya berani memakai isyarat di tempat yang paling nyaman bak pepatah “seperti ayam kampung.”

Bersembunyi dibalik roda organisasi untuk melanggengkan kepentingannya dengan anggapan akan banyak bertemu aparatur-aparatur negara yang bekerja pada setiap institusi-institusi yang didambakannya. Banyak pergi ke luar kota dan menyudahi hajatnya agar dianggap sebagai orang paling benar.

Mahasiswa Indonesia, mereka telah bisu dalam mengeluarkan suara kebenaran dan sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kebenaran, buku hanyalah alat untuk memperindah bahasa mereka pada setiap forum dalam ajang mencari perhatian.

Mampu mengkritisi tapi tak mampu mendengar kritik, mampu mengkoreksi tapi tidak ingin dikoreksi. Ketika dikritisi, mereka malah memilih menutup telinga serapat-rapatnya dan sibuk dengan ocehan yang dinilai omong kosong dan tidak selaras dengan perlakuan. Ketika argumen mereka dikoreksi, malah sibuk mencari argumen lain agar tidak nampak salah, padahal sudah nyata salah. Ketika tahu salah, malah sibuk menambah agar tidak nampak kesalahan dan kekurangan pada dirinya. Memusuhi mereka yang mengkritisi dan mengkoreksi, bersikap sok idealis dengan kemampuan yang sangat minim. Terlalu banyak menceritakan kebaikannya dan tendesius dalam mengamati keburukan orang lain tanpa mau mendengar cerita orang lain dan tidak mau mendengar alasan orang lain.

Mahasiswa Indonesia, pendapat mereka mutlak benar tanpa harus mendengar pendapat orang lain. Mahasiswa Indonesia, kepentingan mereka adalah hal yang utama tanpa perduli hilangnya kesempatan orang lain. Mahasiswa Indonesia, mereka tuli dalam mendengar setiap kritisi, pendapat dan nasehat dari orang lain. Mahasiswa Indonesia sudah menjadi apatis abadi. Mahasiswa Indonesia Era Reformasi telah menjadi buta, bisu dan tuli.

Posting Komentar

0 Komentar