Oleh: Wahyu Triono KS
Salah satu hal pokok yang dapat dijadikan sebagai standar ukuran untuk menilai kepemimpinan adalah bagaimana pemimpin memiliki Hubungan Kemanusiaan (Human Relation) yang baik.
Inti dari Human Relation (HR) adalah komunikasi dan tujuan dari komunikasi adalah bagaimana pemimpin memberikan kejelasan sehingga yang dipimpin mengerti dan menjalankan apa yang diinginkan oleh pemimpin.
Bila dikaitkan dengan konteks pemimpin daerah dan para kandidat kepala daerah yang sedang bersiap untuk menapaki jalan kemenangan (road to victory) maka ukuran kualitas kepemimpinan dapat dilihat dari bagaimana pemimpin dapat membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat pemilih.
Sayangnya komunikasi yang terbangun antara pemimpin dan yang akan dipimpin lebih bersifat formalitas dan memberi arahan agar masyarakat memilihnya menjadi pemimpin. Padahal semestinya adalah bagaimana pempimpin mampu menangkap pesan harapan dan kebutuhan masyarakat.
Dengan menggunakan dua pendekatan yaitu harapan dan kebutuhan maka sudah semestinya para kandidat pemimpin melalui konsultan kampanye atau tim survey politiknya menggunakan teori harapan dan teori kebutuhan untuk menangkap pesan masyarakat.
Bila pesan itu mampu ditangkap oleh kaidat pemimpin maka pendekatan kampanye dan program pembangunan yang akan dijalankan kelak ketika menjadi kepala daerah adalah merealisasikan apa yang menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat.
Sayantnya, bila ditinjau dari perspektif ilmu administrasi Indonesia menganut desentralisasi administrasi sekaligus desentralisasi politik, hal ini yang sering kali menyebabkan berhentinya harapan dan kebutuhan masyarakat di batas janji-janji.
Bila kita membaca secara mendalam sesungguhnya seluruh regulasi yang mengatur tentang otonomi daerah sebenarnya pemerintah daerah dibawah rezim desentralisasi administrasi, sehingga dikenal istilah pendelegasian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daetah untuk menyelenggarakan pelayanan publik.
Dengan konsep pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat ini maka harapan dan kebutuhan masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal, partisipasi dan apirasi masyarakat dapat fasilitasi. Pemerintah daerah kabupaten dan kota akan fokus membangun daerah dan memfasilitasi harapan dan kebutuhan masyarakat dengan tidak disibukkan oleh urusan politik melalui Pilkada langsung.
Tetapi karena pemerintah daerah kabupaten dan kota juga berada dibawah rezim desentralisasi politik maka dikenal Pilkada langsung di kabupaten dan kota dengan regulasi yang diatur tersendiri dan terpisah dari regulasi yang mengatur otonomi daerah.
Dibawah rezim desentralisasi politik dengan Pilkada langsung, elite disibukkan dengan urusan politik dan pimpinan daerah menjadi kurang optimal sebagai pelayan untuk memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat.
Menjadi pertimbangan secara serius tentunya untuk melakukan transformasi tentang sistem dan regulasi yang mengatur otonomi daerah. Bila pilihannya dibawah rezim desentralisasi administrasi musti diatur bagaimana cara melakukan seleksi, menentukan dan menetapkan kepala daerah di kabupaten dan kota. Bila pilihannya dibawah rezim desentralisasi administrasi sekaaligus rezin deseintralisasi politik musti harus dilakukan singkronisasi terhadap regulasi yang mengatur otonomi daerah dan Pilkada langsung.
Otonomi daerah yang merupakan pendelegasian wewenang printah pusat kepada pemerintah daerah dimaksudkan otonomi itu diberikan kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Sehingga bukan otonomi daerah namanya bila hanya menyaguti kepentingan elite daerah dan abai terhadap harapan dan kebutuhan masyarakat.
Wahyyu Triono KS adalah profesionals campaign and politic consultan pada Cinta Indonesia Associate (CIA).
Posting Komentar