Jargon "banyak kerja sedikit bicara" mungkin bagus untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, tapi tidak berlaku untuk anggota DPR maupun DPRD. Karena tugas sebenarnya dari anggota DPR atau parlemen itu ialah "berbicara". Asal kata "parlemen" itu dari bahasa Prancis: "parler" yang artinya: "berbicara". Bahasa Inggrisnya: "speak". Istilah "watchdog" atau "anjing penggonggong" juga sering disematkan kepada tugas DPR. Mengapa? Karena ia bertugas mengawasi penyelenggaraan negara.
Dalam negara demokrasi, seperti Indonesia, misalnya, tidak ada satu lembaga negara pun yang dikecualikan dari pengawasan DPR. Bahkan, lembaga peradilan pun, yang bersifat independen dan bebas dari intervensi, tak bisa lepas dari pengawasan DPR. Jadi, jika ada yang tak benar, tak adil, yang dilakukan oleh pemerintah atau semua lembaga-lembaga negara, DPR harus "menggonggong" (mengkritisi, meluruskan dalam upaya mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat).
DPR berwenang membuat bahkan mengubah undang-undang sekalipun. Jadi, kalau ada yang tak suka anggota DPR banyak bicara, itu tanda ia tak paham hakikat tugas DPR. Atau, jika ada anggota DPR atau DPRD yang tak banyak bicara, yang kerjanya cuma diam, berarti ia tak paham arti keberadaannya sebagai anggota DPR maupun DPRD.
Kerja DPR itu bicara
Ada tiga fungsi DPR: fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Ketiga fungsi itu membutuhkan keharusan dan keberanian "berbicara" di dalamnya. Pertama, misalnya, dalam fungsi legislasi. Anggota DPR harus bicara. Menyuarakan keadilan dan kebenaran. Sehingga produk legislasi berupa peraturan perundang-undangan benar-benar menjadi landasan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. DPR dalam proses legislasi atau pembuatan hukum (peraturan perundang-undangan) tak boleh diam apalagi sekedar menjadi "tukang stempel" UU yang bersifat "pesanan". Bicara, bicara, bicara, begitulah tugas DPR! Bukan datang, duduk, diam, duit.
Kedua, fungsi pengawasan. DPR mempunyai wewenang mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan mengawasi seluruh proses penyelenggaraan negara. Dalam tugas pengawasan, tentu anggota DPR harus bicara. Jika ada yang tak beres, anggota DPR harus berani bicara mengkritisi. Sekalipun ia dari anggota partai pendukung pemerintah. Karena, posisi DPR itu pada hakikatnya adalah "oposisi" dengan pemerintah. DPR tak boleh berkoalisi apalagi berkolaborasi dengan pemerintah. Begitulah konsep yang benar teori Trias Politica dari filsuf Inggris, John Locke. Legislatif mengawasi eksekutif. Dalam melakukan fungsi pengawasan, lagi-lagi DPR harus berbicara: berani mengatakan yang salah adalah salah; yang benar adalah benar.
Ketiga, fungsi anggaran. Sebelum APBN/APBD disahkan, dilakukan pembahasan terlebih dahulu. Di sini, tentu DPR mesti bicara. Ia harus menyampaikan segala persoalan terkait anggaran agar anggaran benar-benar adil, efektif, efisien, tepat sasaran, dan berkeadilan, demi terwujudnya kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.
Selain tiga fungsi di atas, DPR juga punya hak-hak, di antaranya: hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak-hak itu juga dilaksanakan dalam bentuk keberanian berbicara dari Anggota DPR. Jika Anggota DPR takut bicara, hak-hak tersebut tak mungkin bisa dilaksanakan.
Karena tugasnya adalah "bicara", maka Anggota DPR diberi hak imunitas. Hak imunitas adalah hak DPR untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal (dalam tugasnya) tanpa boleh dituntut di muka pengadilan.
Hak imunitas membolehkan anggota parlemen untuk bebas berbicara dan mengekspresikan pendapat mereka tentang keadaan politik tertentu tanpa rasa khawatir akan mendapatkan tindakan balasan atas dasar motif politik pula, atau motif politik tertentu.
Hak imunitas menjadikan anggota DPR dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Hak imunitas diberikan kepada Anggota DPR agar ketika berhadapan dengan hukum ia bisa menjalankan kewajiban konstitusionalnya, yaitu memberikan pendapat dan "suara" terhadap putusan yang menyangkut kebijakan publik.
Digaji untuk bicara dan berpikir
Jadi, sekali lagi, DPR itu tugasnya ialah berbicara. Berbicara menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Dan, tidak hanya sebagai penyampai aspirasi rakyat, tapi juga menyampaikan gagasan-gagasannya sendiri. Oleh karena itu, idealnya anggota DPR itu adalah juga seorang pemikir. Anggota DPR harus punya pemikiran-pemikiran cemerlang tentang kebaikan.
Ada yang mengatakan bicara saja tak cukup, harus ada action. Saya jawab, “Ya, action-nya DPR itu ialah dalam bentuk berbicara.” Bicara dalam hal pengawasan, legislasi, dan budgeting. Fungsi-fungsi itu dilakukan dalam bentuk "bicara". Dalam proses legislasi dibutuhkan bicara: membuat UU, Perda, misalnya, butuh perdebatan, butuh adu argumen. Dan itu mesti dengan bicara. Kemudian, budgeting (anggaran) juga dibutuhkan bicara. Agar anggaran bisa tepat sasaran. Jadi, action DPR itu ya bicara dan bicara.
Anggota DPR itu harus bisa dan berani bicara (bersuara). Itulah tugasnya. Ia digaji dari uang rakyat ya untuk bicara. Kerjanya ya bicara: sebagai speaker. Jika ia tak bicara, tak ada artinya ia sebagai wakil rakyat: tak ubah seperti pekerjaan tukang yang bekerja dengan perkakas tanpa perlu bersuara. Fungsi DPR itu—meminjam istilah Bung Karno—ialah sebagai "penyambung lidah rakyat". Jadi, keliru jika ada yang meminta anggota DPR jangan banyak bersuara (gaduh) mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa. Justru anggota DPR yang banyak diam itulah yang tak benar dan harus dipertanyakan kinerjanya.
NANI EFENDI, Kritikus Sosial
0 Komentar