Random Posts

DPR Mestinya Oposisi, Bukan Koalisi Pemerintah: Perspektif Konstitusi dan Teori Trias Politica

 

Oleh: NANI EFENDI



DPR itu tak etis berkoalisi apalagi jadi "humas" atau "jubir"-nya pemerintah. Meskipun ada anggota DPR yang berasal dari partai pendukung pemerintah, namun secara konstitusional, mereka tetap berkewajiban menjalankan fungsi pengawasan (control) terhadap rezim yang berkuasa. Karena begitulah amanat konstitusi UUD 1945. 

Beroposisi, bukan berkoalisi

Anggota DPR mesti tunduk pada konstitusi, bukan pada pimpinan partai. Begitulah konsep yang benar menurut konstitusi maupun teori Trias Politica. Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya politik tiga serangkai. Trias Politica adalah konsep politik yang memisahkan tiga kekuasaan politik: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Apa tujuannya? 

Menurut Wahyu Eko Nugroho, dalam jurnalnya yang berjudul "Implementasi Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia", sebuah pemerintahan yang berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas. Tujuan konsep Trias Politica adalah untuk mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan negara yang bersifat absolut pada satu orang atau satu lembaga. Dengan adanya pemisahan legislatif dengan eksekutif, maka bisa berjalan fungsi pengawasan oleh legislatif terhadap eksekutif bahkan terhadap yudikatif sekalipun.

Penggagas konsep Trias Politica ialah filsuf Inggris, John Locke. Kemudian, dikembangkan oleh Montesquieu seorang filsuf Prancis dalam bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois (lihat Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H., "Makna Trias Politica dan Penerapannya di Indonesia" dalam Hukumonline.com).

 

Bahwa DPR itu mesti "berposisi" dengan pemerintah, juga bisa kita lihat dari hak-hak yang dimiliki oleh DPR: hak angket, hak menyatakan pendapat, hak interpelasi. Hak angket ialah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air, maupun di kancah internasional. Sedangkan hak interpelasi ialah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Di samping itu, ada pula fungsi pengawasan yang harus dilakukan oleh DPR terhadap seluruh proses penyelenggaraan negara, terutama terhadap lembaga eksekutif. Dari hak-hak dan fungsi tersebut, terlihat jelas bahwa DPR berdiri secara diametral (opposite) dengan pemerintah. Sangatlah keliru jika ada anggota DPR yang mati-matian membela rezim (tak peduli salah atau benar) hanya karena alasan bahwa ia berasal dari partai koalisi pemerintah.

Dari perspektif teori Trias Politica maupun dari aturan konstitusional, tak ada konsep yang membenarkan DPR bisa koalisi dengan pemerintah. Karena posisi kedua lembaga itu berbeda dalam hak dan kewajiban. Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (1987:231), menjelaskan, perpisahan antara eksekutif dan legislatif, atau kontrol pemerintah oleh dewan perwakilan rakyat, dan terutama oleh partai-partai oposisi, menutup pintu terhadap manipulasi undang-undang demi kepentingan pemerintah.

Tak ada konsep koalisi dalam konstitusi kita

Apa yang dilakukan oleh anggota-anggota DPR seperti Fadli Zon, Efendi Simbolon, misalnya, adalah benar jika dilihat dari perspektif Trias Politica, maupun konstitusi. Mereka selalu kritis dengan pemerintah karena mereka menjalankan tugas sebagai anggota DPR, meskipun partainya adalah pendukung rezim yang berkuasa.

Yang keliru itu, menurut saya, adalah anggota-anggota DPR yang urat lehernya itu tegang-tegang membela pemerintah. Terlebih jika yang dibela itu ialah sikap maupun kebijakan rezim yang tak adil terhadap rakyat. Dan yang tak kalah keliru dan membuat kesal rakyat ialah anggota DPR yang benar-benar "berpuasa" mengkritisi pemerintah lantaran ia anggota partai pendukung rezim.

Kata tokoh akademisi-intelektual papan atas di Indonesia saat ini, Ariel Heryanto, "Buat apa adu gagasan individu bacapres, jika yang bakal menentukan masa depan RI adalah adu kepentingan koalisi di belakang mereka." Ya, begitulah realita politik di Indonesia saat ini. Konsep koalisi dapat merusak ketatanegaraan Indonesia yang berdasarkan konstitusi. 

Konstitusi UUD 1945 tak mengenal istilah koalisi. Mestinya, untuk menghidupkan demokrasi, yang harus dibangun itu ialah konsep "oposisi", bukan koalisi. Oposisi yang kuat bisa mengontrol rezim agar bisa berjalan secara baik dan adil. Agar berjalan proses check and balances. Sedangkan koalisi itu akan berujung menjadi kekuatan oligarki yang pada akhirnya merugikan kepentingan rakyat banyak. 

Untuk tujuan konsensus, dalam politik, tak ada salahnya juga berkoalisi jika benar-benar untuk kemaslahatan rakyat. Tapi konsep koalisi saat inikan semacam upaya "cari selamat" saja para elite partai politik. Bukan benar-benar untuk kepentingan rakyat yang lebih besar. Koalisi terkadang identik dengan "koncoisme" dan "kolaborasi". Koalisi para elite politik lebih banyak membuat kecewa rakyat ketimbang membuat senang. Elite yang berkoalisi, rakyat yang kecewa. Karena aspirasi rakyat bisa terabaikan lantaran para elite sudah "saling terbahak-bahak" di meja koalisi menikmati kue kekuasaan. 

NANI EFENDI, Kritikus Sosial


Referensi:

1. Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. "Makna Trias Politica dan Penerapannya di Indonesia" dalam Hukumonline.com

2. Franz Magnis-Suseno. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987.

3. UUD 1945 Amandemen



Posting Komentar

0 Komentar