Random Posts

Kekacauan Paradigma Demokrasi


Oleh: Ekten Deaf Pariske 
(Sekjend DEMA IAIN Kerinci Periode 2018-2019) 

KERINCINEWS.COM, KERINCI - Istilah demokrasi pada dua dasawarsa terakhir, khususnya di berbagai negara berkembang kian populer, baik pada tingkat wacana maupun arus gerakan sosial politik. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi telah menempati tingkatan teratas yang diterima oleh banyaknegara karena dianggap mampu mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial dan politik, baik yang melibatkan kepentingan antar individu dalam masyarakat, hubungan antar masyarakat, masyarakat dan negara maupun antar negara di dunia.

Sebagai sebuah konsep, demokrasi memiliki makna luas dan mengandung banyak elemen yang kompleks. Demokrasi adalah suatu metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara.

Akar sejarah ide demokrasi, yang sekarang berkembang dengan amat pesat, tidak bisa
dilepaskan dari sejarah gelap Eropa abad pertengahan. Hal itu adalah realitas sejarah yang tidak dapat diingkari. Ketika itu, para cendekiawan Eropa melancarkan seruan pentingnya penentangan terhadap dominasi kaum gerejawan terhadap kehidupan umum. Mereka menyerukan agar peranan agamawan dibatasi hanya di dalam lingkungan gereja. Sementara di luar lingkungan gereja, masyarakat umum yang bukan gerejawan berhak menentukan pandangan, sikap, dan kebijakan mengenai kehidupan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan publik.

Tentu saja, cara berpikir dan pandangan seperti itu berdampak sangat luas terhadap sikap dan pandangan tentang kehidupan. Dalam dunia pemikiran, cara berpikir seperti itu, dikenal secara luas sebagai cara berpikir sekularistik (pendangkalan agama). Faktanya demokrasi lahir dari pergulatan antara rasionalitas dan kuasa gereja ketika itu. Maka bentuk pemerintahan sekuler menjadi satu-satunya solusi agar pemerintahan despotik dan otoritarian yang dikuasai kaum gerejawan tidak berlanjut.

Secara umum pandangan bahwa esensi demokrasi adalah kedaulatan rakyat hampir menjadi keyakinan sebagian besar masyarakat manusia sekarang ini. Sedangkan kedaulatan rakyat umumnya dimaknai bahwa sumber kekuasaan pemerintah atau negara adalah rakyat. Dengan kata lain rakyatlah yang menjadi sumber keabsahan kekuasaan negara. Oleh karena itu, tanpa persetujuan rakyat, kekuasaan negara tak memeroleh legitimasi dan legalitas yang meyakinkan.

Atas dasar itu, seharusnya dalam negara yang menganut sistem demokrasi rakyat mendapatkan manfaat dari keberadaan suatu pemerintahan dan negara. Sebab esensi lain dari keberadaan suatu pemerintahan dan negara adalah bahwa mengatur dan mengurus rakyat adalah kewajiban negara. Maka demokrasi merupakan wadah masyarakat atau rakyat untuk memilih seseorang yang akan memimpin dan melayani mereka dalam berbagai kehidupan umum. Konsekuensinya para pimpinan di sebuah negara demokrasi bukan orang yang dibenci oleh rakyatnya, sistem yang dijalankannya bukan yang tidak dikehendaki melainkan yang sejalan dengan arah pemkiran rakyatnya.

Namun dalam praktik realitas demokrasi di manapun di dunia ini ditemukan sejumlah ironi. Bahkan dalam banyak hal sudah jelas bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri. Yang paling mudah ditemukan dan nyaris menjadi fenomena umum di setiap negara yang menganut sistem demokrasi ialah fenomena menguatnya apa yang disebut tirani.

Dalam sebuah negara yang kekuasaanya dikendalikan penuh oleh tirani sangat berpotensi menjungkirbalikkan tata nilai. Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan yang dikuasai tirani bisa jadi sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dikendaki oleh nilai-nilai sosialkemasyarakatan yaitu kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Oleh sebab itu, dalam sistem demokrasi pula berbagai penyimpangan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, mudah ditemukan bahkan nyaris menjadi asas peri kehidupan di negara demokrasi. Hal itu dikarenakan dalam proses pelaksanaan demokrasi alam kaitan pemilihan pemimpin masih disuguhi berbagai kecurangan yang dilakukan oleh para kandidat atau partai pengusungnya.

Salah satu kecurangan Pemilu adalah politik uang yang memaksa masyarakat untuk memilih peserta Pemilu yang melakukan politik uang tersebut. Setidak-tidaknya ada 2 subjek yang menyebabkan merebaknya praktik politik uang, yaitu peserta pemilu dan masyarakat sebagai pemilih.

Pada umumnya para calon yang pernah mencalonkan diri pada Pemilu sebelumnya lebih ahli dalam politik uang dan dipastikan akan mengulang hal yang sama. Adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon yang justru melahirkan efek negatif bagi para elit dengan cara politik uang sering dijadikan alasan untuk melakukan politik uang. Akibatnya masyarakat pun sangat antusias kepada calon yang banyak memberikan uang dan selanjutnya masyarakat pun merasa “berutang budi” pada calon tersebut. Biasanya peserta Pemilu yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat akan lebih mengandalkan politik uang. Akibatnya kasus pembelian suara dengan politik uang selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan Pilpres, Pilkada, atau Pileg.

Meskipun populer dan dianggap terbaik, demokrasi nyatanya adalah sistem yang sangat mahal. Demokrasi membutuhkan biaya tinggi. Saat memberikan pidato kenegaraan di Gedung MPR/DPR, 16 Agustus beberapa tahun lalu, Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahkan cemas dan prihatin dengan perkembangan demokrasi yang semakin mahal ini. Meluasnya politik uang, kata SBY, hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat dan merusak demokrasi yang dibangun. Praktik politik uang, katanya, pasti diterima oleh pelakunya dikembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak lahirnya. Sementara sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau aturan massa. Ia mencerminkan demokrasi sebagai sistem yang bobrok, karena pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkhisme.

Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya “Politik”, Aristoteles menyebut demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk. Sesuai dengan pemerintahan yang dilakukan oleh kelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok yang akan dengan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertarungan konflik kepentingan berbagai kelompok sosial
dan pertarungan elit kekuasaan.

Mungkin di masa kini kita, di abad kecanggihan informasi dan komunikasi yang belum pernah dicapai oleh manusia sebelumnya, demokrasi adalah kata atau istilah yang paling mendominasi perbincangan di berbagai pertemuan. 

Begitu luasnya wacana tentang demokrasi, sehingga istilah ini nyaris menjadi menu perbincangan keseharian manusia.

Di sisi lain, demokrasi seolah-olah telah menjadi standar keberadaban suatu bangsa. Oleh sebab itu, jika suatu bangsa, negara, atau kelompok tertentu, bahkan seorang individu, diberi lebel tidak demokratis akan merasa malu besar. Akibatnya kata “anti demokrasi” telah menjadi alat stigma yang cukup efektif untuk menjatuhkan pamor suatu bangsa, masyarakat, kelompok, atau individu.

Makna demokrasi akan semakin kelabu ketika ia dipraktikkan oleh penguasa yang dalam menjalankan kekuasaannya sekedar untuk menghindari sebutan antidemokrasi pada rezimnya. Demokrasi menjadi lebih kabur esensinya jika penerapannya menggunakan kekuatan dan kekerasan, seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan sekarang ini.

Bagaimana di Indonesia? Apa yang bisa kita harapkan dari demokrasi sekarang ini? Cita-cita demokrasi yang substansial, dalam praktek sehari-hari tampaknya kian lama kian menjauh. Demokrasi kita hanya diterjemahkan seperti sebagai rezim partai. Bahkan dalam kenyataannya meninggalkan rakyat yang seharusnya menjadi pemilik kedaulatan politik. Dan rakyat benar-benar menjadi pelaku yang pasif di sini. Mereka memilih, tapi tak bebas memilih. Yang bisa mereka pilih hanyalah mereka yang sudah dapat dipilih, dan tidak dari setiap mereka sudah mewakili semua aspirasi rakyat. Bagaimana ini mau dibilang sebagai sistem yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat?

Rakyat Indonesia pun terbodohi. Dan mereka yang membodohi telah sukses membuat ribuan rakyat negara ini menjadi bodoh. Atau pembodohan yang terselip dalam sistem demokrasi di negara ini hanyalah sebuah kecelakaan?

Kini rakyat Indonesia menjadi terlanjur cinta pada satu sosok. Satu figur. Tanpa sadar sosok tersebut tidaklah bekerja sendirian. Ia bekerja sebagai sebuah tim. Dan ketika tim tersebut pecah, bisakah sosok tersebut bekerja dengan sama baiknya seperti sebelumnya?

Ah, rumit sekali! 

Posting Komentar

0 Komentar