Random Posts

Puasa Adalah Latihan Keruhanian, Bukan Latihan Ketahanan Fisik

 

Oleh: Nani Efendi


Dalam al Qur’an, dijelaskan bahwa manusia diciptakan dalam fitrah. Fitrah itulah yang membuat manusia bersifat hanif (cenderung pada kebaikan dan kebenaran). Ini sebagai konsekuensi logis dari perjanjian primordial manusia dengan Allah ketika akan ditiupkan ruh ke dalam diri manusia.

Ada dua firman Allah tentang fitrah dan sifat hanif manusia. Pertama, dalam surah Ar-Rum/30:30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Kedua, surah Al A’raf/7:172, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Namun, di samping bersifat hanif, manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah (Qs. 4:28). Salah satu kelemahannya ialah bersifat tergesa-gesa (Qs. 21:37 dan Qs. 17:11). Karena kelemahannya itu, maka manusia cenderung berpandangan pendek, mementingkan hal-hal segera, dan mengabaikan hal-hal jangka panjang (Qs. 75:20 dan 76:27). Itu semua membuat manusia rawan terhadap kesalahan dan kekeliruan (lihat Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, h. 716).

Nah, agar manusia tetap dalam fitrahnya, maka manusia diberi petunjuk dan perintah oleh Allah melalui firmannya yang disampaikan kepada para nabi. Salah satu perintah Allah kepada manusia—agar ia selalu menjadi manusia yang baik—ialah puasa Ramadhan.

Puasa hanya metode, bukan tujuan

Bulan puasa sering juga disebut bulan latihan. Tapi latihan yang dimaksud bukanlah latihan fisik atau jasmani, melainkan latihan jiwa, spiritual, atau keruhanian. Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid dalam bukunya Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, menjelaskan beberapa hal terkait pelaksanaan puasa Ramadhan. Di antaranya, misalnya: mengapa mesti ada makan sahur, mengapa sahur mesti diakhirkan, mengapa menyegerakan berbuka ketika waktu telah masuk, mengapa berbuka disunnahkan dengan yang manis, dan lain sebagainya. Dalam tulisan ini, saya mencoba menerangkan beberapa hal yang jarang dijelaskan oleh para penceramah maupun dalam buku-buku menyangkut puasa Ramadhan.

Ibadah puasa, menurut Cak Nur, sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu latihan keruhanian. Puasa, terutama puasa Ramadhan, dalam Islam bukanlah hanya sebatas menahan lapar dan dahaga. Tapi yang lebih utama adalah menahan dan mengendalikan keinginan hawa nafsu terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah. Jadi, menahan makan dan minum bukanlah tujuan puasa, tapi itu sekedar cara atau metode saja dari Allah untuk melatih manusia agar mampu mengekang keinginan hawa nafsunya.

Rasulullah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” (HR. An-Nasa’i). Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari tidak makan dan minum. Tapi lebih dari itu: puasa berarti menahan diri kita dari melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah. Selama sebulan, kita dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu kita dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Jika kita mampu seperti itu, maka kita telah menjadi manusia yang bertakwa.

Jadi, puasa dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum, tidak melakukan hubungan suami-istri di siang hari, hanyalah cara Allah melatih manusia dalam mengendalikan hawa nafsu. Lapar dan dahaga bukan tujuan. Tujuan puasa: manusia taqwa. Karena itulah jika ada orang makan dan minum dalam keadaan puasa disebabkan lupa, maka puasanya tidak batal. Seseorang lupa berarti bukan diperintahkan oleh hawa nafsunya. Karena itulah puasanya tidak batal.

Taqwa, itulah tujuan hakiki puasa

Puasa dalam Islam berbeda dengan puasa yang diperintahkan oleh dokter pada pasiennya ketika akan melakukan operasi. Puasa oleh dokter itu memang bertujuan agar orang yang akan dioperasi benar-benar tidak makan dan minum sebelum operasi. Artinya, hanya bersifat fisik semata. Jika pasien makan atau minum sebelum operasi, baik sengaja maupun tak sengaja, maka dapat dipastikan akan berdampak fatal terhadap pasien. Puasa dalam Islam tidaklah seperti itu. Tujuan puasa bukan untuk fisik, tapi untuk latihan ruhani. Walaupun ia juga mempunyai manfaat bagi kesehatan fisik.

Ada yang mengatakan menggosok gigi di siang hari puasa itu makruh. Alasannya, nanti takut tertelan air. Ya, saya bilang kalau tertelan berarti tidak sengaja ya tidak apa-apa. Dan itu tidak dapat membatalkan puasa karena bukan disengaja. Bukan ada niat. Tapi jika sudah ada niat atau terbersit niat dalam hati untuk minum, maka sedikit pun air yang masuk ke kerongkongan, puasa bisa batal. Mengapa? Karena di situ ada niat untuk minum. Dan itu berarti kita tidak mampu mengendalikan hawa nafsu yang menjadi tujuan hakiki dari puasa.

Nah, bukti lain substansi puasa bukan sekedar tidak makan dan minum adalah kita dianjurkan untuk makan sahur. Bahkan makan sahur dianjurkan oleh Rasulullah di akhir waktu. Mengapa? Agar manusia yang berpuasa tidak tersiksa secara fisik. Dengan makan di akhir waktu, maka ada energi bagi fisik untuk bertahan sampai waktu berbuka. Artinya, rentang waktu perut kosong tidak terlalu lama.

Dan mengapa pula ketika waktu berbuka telah masuk kita dianjurkan untuk segera berbuka? Tujuannya agar tubuh tidak terlalu lama tersiksa. Itu intinya. Kita tidak boleh menyiksa tubuh kita sendiri. Dan, dianjurkan lagi berbuka dengan yang manis-manis. Mengapa? Karena makanan yang manis dapat menormalkan kembali metabolisme tubuh dengan cepat.

Jadi, puasa itu bukanlah sekedar menahan lapar dan haus saja, tapi yang lebih penting: bagaimana mempuasakan seluruh tubuh kita (jasmani maupun ruhani) dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Jika kita berhasil mendidik atau melatih diri kita melalui metode puasa—yakni berhasil menahan diri dari yang dilarang Allah dan melaksanakan perintah-perintah Allah—maka kita sudah tergolong kepada manusia yang bertakwa.

Menjadikan manusia bertakwa itulah tujuan hakiki dari puasa. Pengertian sederhana dari "taqwa", menurut saya, adalah selalu mencintai kebenaran dan membenci kejahatan dan keburukan, atau senantiasa mengikuti perintah Allah dan menghindari segala yang dilarang-Nya.

NANI EFENDIAlumnus HMI


Posting Komentar

0 Komentar